Pilihan Editor Galeri Foto AdvertorialPopular
   
 
Kisah dari Panti Jompo:
Perih Rindu Hingga Mandi dengan Air Bekas Berenang Tikus
Sabtu, 17 Oktober 2020 - 00:07:06 WIB
TERKAIT:
   
 

TERIK panas masih serasa membakar kulit, meski sore mulai turun, pada Jumat 11 September 2020. Di jalanan suara kendaraan memekakkan telinga. Hingar bingar, tanda hidup terus berjalan. Tapi tidak di sini, di sebuah panti jompo yang bernama Al Muhajirin, terletak di pinggir jalan utana Kota Pekanbaru. Terik dan bising lenyap, senyap, dalam sepi, dalam nyeri, dalam rindu tak bertepi.

Wajah-wajah tua tanpa ekspresi, menatap, lebih banyak nanap, dari bilik-bilik mereka, ke luar ruangan, seolah menanti, menunggu, tetapi yang ada hanya ruang kosong, hampa. Tembok beku, dingin, tanpa hati, tanpa jiwa.

Pada sebagian bilik ada bau pesing menyengat hidung, berbaur dengan bau keringat asam penghuninya. Di bilik lain ada yang sedang meracau, menyebut apa saja, memaki apa saja, sesekali mengeja sebuah nama dan berakhir dengan kata, anak ku. Lalu diam, hening dan sudut matanya, perempuan yang meracau tadi, mengeluarkan air mata.

"Nenek ini sering meracau soal masa lalunya yang pahit. Dia punya anak, tinggal di Bangkinang, Kampar, tapi tak pernah datang," kata pramulansia yang bertugas menjaga dan melayani para lansia ini.



Perempuan tua itu, tubuhnya ringkih. Seperti hanya tinggal kulit pembalut tulang. Kakinya mengecil dan susah digerakan. Tangannya terikat selendang. Meringkuk di kasur busa yang tipis.

"Kami terpaksa mengikat tangannya. Kalau tidak dia terus membuka pampersnya, lalu menebarkan pipis dan berak dimana-mana," kata pramulansia itu lagi.

Kemudian ada lagi ketukan-ketukan dari dalam salah satu bilik, diiringi suara lirih, "buka...buka..." makin lama ketukan itu makin keras. Ketika pintu dibuka seorang perempuan tua coba menghambur ke luar, pakaiannya setengah atas saja. Dengan sigap pramulansia memasangkan kain perempuan tua itu, mendorongnya pelan untuk kembali ke tempat tidur dan mengunci pintu dari luar. Kembali terdengar ketukan dari dalam dan suara lirih, buka...buka.

"Nenek ini selalu mau lari kalau pintu dibuka, terpaksa kami kurung," kata pramulansia.

Ya, mungkin nenek ini rindu rumah, rindu anak, rindu kasih keluarga dan dia ingin pulang. Tapi siapa peduli? Anaknya pun tidak. Raganya ringkih, tapi hati dan jiwanya masih hidup. Hanya dunia telah melemparnya ke sini, agar dia bisa tetap hidup.

Terus ke bagian lain dan bertemu Nur Maya (72). Kecantikan muda masih terukir di wajah tuanya yang terlihat awet. Kerut merut belum memenuhi wajahnya yang teduh, dengan tahi lalat dekat hidung. Masih seperti perempuan 60-an. Fisiknya tegap, kuat berjalan dan tangannya lincah, memainkan jarum untuk rajutan.

Makna namanya pun cantik, Cahaya Dunia. Hanya nasibnya tak beruntung. Perempuan yang membesarkan 3 anak dengan berjualan gorengan, kini seolah terbuang.

"Saya tak mau merepotkan anak dan menantu, biarlah saya di sini. Sesekali ada anak datang, sekedar memberi belanja," katanya lirih, suara yang tak seperti ucapannya, mengibakan hati yang mendengar.

Maya, perempuan itu, ternyata berasal dari Minangkabau, tepatnya Batusangkar, Sumatera Barat. Negeri matriakat yang memberikan harta ulayat untuk perempuan. Semiskin-miskin perempuan Minang tentu dia masih memiliki sepetak tanah untuk pulang. Tapi tidak untuk Maya.

Cerita Maya, suaminya meninggal tahun 1990-an, ketika anak bungsunya atau anak ketiga masih berusia 4 bulan. Tak ada rumah, tak ada harta yang ditinggalkan, suaminya hanya pedagang kecil. Dunia serasa runtuh bagi Maya. Tapi dia harus bertahan, untuk 3 anak, yang jadi tanggungannya seorang.

Maya pun memulai hidup baru, berjualan gorengan hingga donat. Menompangkannya di kedai-kedai dan menjajakan di sekitar kediamannya, di Marpoyan, Pekanbaru. Dia dayung hidup sendirian, agar anaknya bisa makan, bisa sekolah. Hingga pelan tapi pasti waktu bergulir, tua mengejar dan anak-anak mendewasa.

"Ekonomi anak-anak juga susah, saya tak mau jadi beban, ketika ada yang menawarkan tinggal di sini saya terima.  Tempat tinggal, makan minum dan kebutuhan pokok lainnya sudah ditanggung panti," katanya.

Tapi itu kata mulut Maya. Hatinya siapa yang tau. Dua anak perempuan dan satu anak laki-laki dia punya, dibesarkan dengan tetesan air mata, keringat dan kerja membuat gorengan. Bahkan si bungsu masih disusuinya,  sambil tangan mengaduk gorengan. Entahlah, Maya adalah sorga bagi anak-anaknya. Tetapi sorga itu tercampakkan, dalam hidup yang tidak berpihak.

"Sayang saya tak sempat punya rumah, makan dan sekolah anak lebih penting," kalimat terakhirnya serasa menggetarkan jagad raya. Bukankah itu suara terdalam sanubarinya?

Ya, andai Nek Maya punya rumah tentu dia tak terdampar di sini. Dia masih kuat, masih bisa merajut dan membuat gorengan. Jika ada rumah, mungkin dia akan memilih di rumah, meski sendiri, meski sepi.

Terus berjalan ke sisi lain dari panti jompo ini, memasuki rumah untuk lansia pria, ngilu menyapa nurani. Sedemikian tiada artikah kehidupan setelah muda habis dimakan zaman?

Mata tertumbuk pada sosok-sosok tak berdaya di atas tempat tidur kecil mereka. Mau amis pesing menyergap hidung. Mata-mata kosong hampa, tanpa reaksi, tanpa tawa, jadi jawaban kala mereka disapa.

Dulu, dari posturnya, pastilah mereka lelaki gagah perkasa. Kini hanya seonggok daging, seolah tanpa makna. Anak cucu dan keluarga, ada, tapi telah melupakan mereka.

Berteman sesama senasib di ruang ini, mereka lebih banyak diam, menunggu waktu, yang entah kapan akan berakhir untuk mereka. Sungguh, mereka butuh hati, bukan sebuah tempat tanpa jiwa.

Mandi Bekas Air Berenang Tikus

Duka lara para lansia di panti jompo ini bukan hanya oleh kesia-siaan, bukan hanya oleh kasih sayang  yang terputus, atau tersebab rindu dendam, pada anak cucu, saudara hingga kampung halaman, juga oleh fasilitas yang sudah tidak lagi manusiawi.

Kamar bocor, itu biasa. Lampu tak ada, itu biasa. Kasur bau pesing, itu juga masih biasa. Bentakan pengasuh, itu malah amat biasa. Ancaman-ancaman dengan kata penuh intimidasi jika protes sesuatu, itu sudah makanan para lansia, hingga mereka diam, bungkam.

Tetapi lihatlah, ketegaan apa yang ada dalam jiwa-jiwa manusia yang berbudi, berpendidikan dan beragama, ketika membiarkan mereka sudah sama seperti hewan? Lihatlah, mereka mandi  di bak mandi yang airnya dijadikan tempat berenang para tikus. Gosok gigi hingga mencuci peralatan makan juga dari air yang sama. Kita telah biadab.



Kenapa bisa terjadi? Karena fasilitas kamar mandi sudah tak memadai, berlobang di sana sini, tempat ke luar masuk hewan menjijikan itu. Tidak ada perbaikan, tidak ada perhatian. Tikus-tikus itu bukan hanya cukup berenang di kamar mandi, tapi mereka merajalela, hingga ke kamar bahkan ke kasur para lansia.

Seorang lansia yang masih kuat fisik dan daya ingatnya, belum pikun, bercerita bahwa jika ada yang protes maka ancaman dikeluarkan dari panti mereka terima. Mau kemana mereka? Anak dan saudara saja sudah "membuang" mereka ke panti ini. Padahal panti jompo ini milik Pemerintah Provinsi Riau, di bawah naungan Dinas Sosial Riau. Artinya. pembiayaannya juga dari dana rakyat.

Akhirnya, menyerah pada nasib. Biarlah mandi dengan air bekas berenangnya tikus dari pada terlunta-lunta di luar sana, di jalanan, yang makan pun belum tentu bisa, belum tentu dapat.

Tikus-tikus ini, belum berhenti sampai di situ. Mereka menjarahi, tak hanya makanan, juga empu kaki beberapa lansia renta. Sakit yang menderaikan air mata, ke dalam jiwa. Entahlah, jahanam mana tikus dari manusia yang begitu tega?

Ada penghuni, pria renta, matanya buta.  Tidur di tempat tidur kecil, dalam petak 2 x 1,5 meter, yang disekat triplek dan panasnya, jangan ditanya. Alas kasurnya legam, lama tak dicuci dan bau pesing. Dekat kepalanya ada meja kecil, tempat piring makanan dan air minum.

Kebutaan menyebabkan dia tak lagi bisa melihat tikus-tikus yang menjalar. Kondisi tempat tidur dan badannya yang tidak bersih, membuat tikus merajalela. Jika makanannya dicuil tikus, tentu itu juga biasa. Tetapi ujung jarinya juga beberapa kali jadi sasaran gigitan tikus.

"Sudah pedih saja saya tau kalau ujung jari kaki saya digigit tikus," katanya datar, tanpa ekspresi, karena matanya tak lagi bisa bicara kata jiwa, hanya putih, tanpa bola. Ya, kakek renta itu sudah buta.

Lalu seorang lansia lain berbisik, meski kami hanya berdua, sambil sesekali melihat kiri kanan, takut ada yang mendengarnya.

"Air hanya ada 3 ember dalam bak, saya habiskan karena harus menyiram berak teman se kamar yang berlepotan di kamar mandi. Saya ambil air di tempat lain karena kran bak mandi tak berfungsi, Saya dimarah-marahi. Tak jadi mandi," katanya.

Kalau tak mandi dia takut tidur, karena jika tidur jangan-jangan tikus juga akan menggigit jari kakinya, seperti derita temannya, si lansia yang sudah buta.

"Bersyukur juga karena sudah ada tempat tinggal, dapat makan minum gratis," katanya.

Akan Benahi

Ketika kondisi ini dikonfirmasikan kepada Sekdaprov Riau, Yan Prana Jaya, dia terkejut dan mengatakan tidak mengetahui kondisi tersebut. Sekdparov berjanji akan memperbaiki kondisi di panti jompo Al Muhajirin dan akan menindak siapa saja yang sudah berlaku tidak manusiawi kepada para lansia.

Bahkan karena saat ini sedang dalam kondisi Pandemi Covid-19, Yan Prana juga segera memberikan bantuan 500 masker, karena ternyata banyak diantara para lansia tersebut tidak pakai masker.

"Kita lihat bersama, faktor yang harus diperhatikan seperti kebersihan harus didahulukan, agar tikus tidak masuk dan bersarang," kata Yan.

Sekdaprov berjanji akan mengupayakan membantu memperjuangkan anggaran di APBD Provinsi Riau tahun 2021 agar panti jompo Al Muhajirin bangunannya bisa diperbaiki.

"Pemerintah Provinsi Riau akan terus berupaya melakukan monitoring dan evaluasi baik itu anggarannya, makanannya, kesehatannya, sehingga para lansia bisa tenang sekalipun mereka jauh dari keluarganya," jelas Yan Prana.

Dalam waktu dekat pihaknya akan berkoordinasi dengan Anggota Dewan, Dinas Sosial Provinsi Riau dan pihak terkait lainnya, khususnya para pengelola panti panti jompo untuk mendahulukan apa skala prioritas kebutuhan panti yang harus dipenuhi.

"Saya harapkan Dinas Sosial Provinsi Riau memantau keadaan panti, paling tidak seminggu tiga kali, agar bisa melihat perkembangan dan sistem pengelolan di Panti Jompo Al Muhajirin ini," kata Sekdaprov.***/Luzi Diamanda






Loading...




 
Berita Lainnya :
  • Kepala Kejari Bungo Terima Penghargaan dalam Penganugrahan Kekayaan Negara Award 2023
  • Peparnas Medan, NPC Riau Ingatkan Pelatih dan Atlet Jalankan Program Latihan Maksimal
  • Pj Gubri Ikuti Peringatan Hari Otda XXVIII di Surabaya
  • Komisi III DPRD Riau Beri Dua Opsi pada Pemprov untuk Seleksi Dirut BRK Syariah
  • KPU Provinsi Riau Sayembara Maskot dan Jingle Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Tahun 2024
  •  
    Komentar Anda :

     
     
     
     
     
    Redaksi - Disclaimer - Pedoman Berita Siber - Tentang Kami - Info Iklan
    © 2016-2024 SUARAAKTUAL.CO, all rights reserved